Khadijah
Binti Khuwailid r.a
Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga.
Ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam
binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang
hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan
bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama yang
menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase
awal jihad pcnyebaran agama Allah kepada seluruh umat manusia.
”Demi Allah! Dia (Khadijah) beriman
kepadaku disaat orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku di saat semua
orang mendustakanku. Dan dia membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya
ketika semua orang menahan hartanya dariku dan Allah telah mengaruniakan
beberapa orang anak dari rahimnya yang tidak aku peroleh dari isteri-isteriku
yang lain”. [HR Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar].
Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya.
Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab
al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah
Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun
sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung.
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah
at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala
Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi
hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka bercerai.Setelah itu banyak
dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau.
Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual
dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang diri Muhammad sebelum
bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), lelaki pilihan yang memiliki sifat jujur,
amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk
menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah. Beliau
memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang biasa dibawa
oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama
Maisarah dan dengan karunia-Nya, Allah Tabaraka wata’ala menjadikan
perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak.
Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut
karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian
Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul
perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau
rasakan sebelumnya. Pemuda yang satu ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-laki
lain yang mampu menimbulkan perasaan cinta dihati Khadijah.
Tiba-tiba datanglah seorang temannya yang bernama Nafisah
binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga Nafisah mampu menyibak rahasia yang
disembuyikan oleh Khodijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Selanjutnya,
Nafisah langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang
menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah
: Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad
: Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah .
Nafisah
: (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya
raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?
Muhammad
: Siapa dia ?
Nafisah
: (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad
: Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar
gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman
beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah
Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin
Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan
mahar.
Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan
kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi
keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa’diyah
yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia
kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan
yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad.
KetikaMuhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka
dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad
ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah
menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu agar dia
dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Allah
memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat
yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.
Kemudian Allah Ta’ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq
menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai
dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah
di Gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya
beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang
dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di dalam gua
tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril
dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira’ pada
bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu.Selanjutnya beliay Nabi Saw
keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut,
khawatir dan menggigil seraya berkata: “Selimutilah aku ….selimutilah aku …”.
Setelah
Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab:”Wahai Khadijah sesungguhnya aku
khawatir terhadap diriku”.
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya
dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: “Allah akan menjaga kita wahai
Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang
jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat
ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda
telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan
tamu dan menolong para pelaku kebenaran”.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan
bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang
bernama waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka tiada ucapan yang keluar dari
mulutnya selain perkataan: “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada
ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar,maka sungguh telah
datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan
Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung”.
Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah
berkata: “Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang
Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu,
mengusir dirimu dan akan memerangimu. Seandainya aku masih menemui hari itu
sungguh aku akan menolong dien Allah “. Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan
mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Apakah
mereka akan mengusirku?”. Waraqah menjawab: “Betul, tiada seorang pun yang
membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya.
Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…”. Tidak
beberapa lama kemudian Waraqah pun wafat.
Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik
penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali ke
rumahnya. Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya,
membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan
al-Qasim untuk menghadap kehadlhirat Allah Tabaraka wata’ala tatkala keduanya
masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang
bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut
hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan. Beliau juga
harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari
Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah
untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik.
Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang
menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal
orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut.
Beliau bersabda: “Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan
urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah
memenangkannya atau aku yang binasa karenannya”.
Oleh karena itu, kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy
mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan dalam
bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan
tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah; Khadijah tidak ragu untuk
bergabung dengan kaum muslimin bersama kaum Abu Thalib dan beliau tinggalkan
kampung halamannya untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan
orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan
kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga
berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad
baja tak kenal lelah.
Sungguh
Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian
tersebut di usia 65 tahun. Di usia 65 tahun yaitu 3 tahun sebelum Hijrah,
Khadijah ra. kembali kepadaNya di saat-saat dakwah melalui fase genting yang
bakal menentukan kelangsungannya. Kepergian beliau ditangisi Rasulullah Saw,
karena terjadi dalam selang waktu yang singkat selepas meninggalnya Abu Thalib,
paman baginda. Sejak tahun kesedihan tersebut, hambatan-hambatan dakwah yang
semakin getir dengan gangguan yang tidak putus-putus mulai berani dilakukan
oleh kaum kafir Musyrikin di Makkah.
Sesungguhnya nama Khadijah tercatat di dalam sirah sebagai
wanita pilihan sehingga namanya disebut-sebut di kalangan penduduk langit dan
bumi. Kemuliaan itu telah diraihnya sejak masih ada di muka dunia. Tatkala
Jibril as. datang kepada Rasulullah Saw dan mengatakan,
“Wahai Rasulullah Saw. Ini dia Khadijah. Dia akan
datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang kepadamu,
sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar
gembira tentang rumah untuknya di dalam syurga dari mutiara, yang tak ada
keributan di dalamnya, dan tidak pula keletihan”. Khadijah lantas menjawab
salam itu, dia berkata: “Allah Maha Penyelamat, daripada-Nya keselamatan dan
kepada-Nya pula kembali keselamatan. Semoga keselamatan atas Malaikat Jibril.” [HR.
Bukhari dalam Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan
Keutamaannya, 1/539]
Dalalm hubungannya, beliau menjadi seorang istri yang
bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan
mencurahkan segala kemamapuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar
gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan
didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya.